Penulis Arfiandi ST MM Wartawan jurnalis Nasional Indonesia
Dalam Beberapa Hari Lagi kita kembali disuguhkan sebuah fenomena pesta demokrasi melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan diselenggarakan pada 27 November 2024 mendatang.
Baca juga:
Refleksi Hari Pahlawan di era Milenial
|
Dalam pelaksanaannya, pilkada bukan sekadar perhelatan yang dilakukan dengan waktu singkat pada hari pelaksanaan tiba, namun ada proses panjang di balik itu.
Setiap kali mendekati pilkada, para calon kepala daerah akan melakukan berbagai intrik dengan orientasi bisa meraih suara sebanyak-banyaknya. Kerap kali, para calon melakukan kampanye dengan cara menebar amplop berisi uang atau membagikan bingkisan sembako.
Baca juga:
Mengenal Mualem Lebih Dekat
|
Dalam hal ini, secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah perilaku korupsi yang dapat berimbas pada tindakan korupsi lainnya.
Politik uang merupakan sebuah upaya untuk memengaruhi para pemilih dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dalam penyelenggaraan pemilu, praktik politik uang dapat mencederai demokratisasi, merusak sistem politik,
Baca juga:
Politik Uang Ancam Demokrasi Aceh
|
Dan menodai keadilan proses politik. Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap masyarakat itu sendiri.
Praktik ini akan menimbulkan sikap dari calon kepala daerah yang hanya peduli pada kepentingan personal, bukan pada kepentingan publik. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, dan partai politik.
Baca juga:
Rakyat Memilih Pemimpin
|
Akhirnya, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompetensi dan berintegritas. Mereka melakukan berbagai upaya untuk dapat menang dengan cara apa pun, tentu hal ini bukan sikap pemimpin yang ideal.
Pemimpin yang terpilih karena praktik korupsi ini juga akan menyebabkan praktik-praktik korupsi lainnya. Ia akan melakukan berbagai cara untuk mengembalikan “modal” yang digunakan selama kampanye.
Baca juga:
Mengapa Membrangding Perempuan
|
Praktik korupsi tersebut bisa berdampak kepada internal instansi maupun kepada masyarakat. Dalam hal ini, pemimpin yang seharusnya mengayomi masyarakat, justru malah memberikan kerugian bagi masyarakat.
Dengan adanya politik uang, akan terjadi pergeseran nilai atau pola hubungan yang baik. Dan semestinya, pemimpin yang dipilih rakyat atas kepercayaan nurani, berubah menjadi sekedar memilih karena faktor yang lain, bisa berupa imbalan uang, imbalan barang dan jasa yang keuntungannya kadang hanya sesaat.
Telah dipahami, bahwa berbagai dampak negatif dalam kehidupan bernegara disebabkan oleh adanya politik uang. Apabila praktik politik uang ini dibiarkan terus menerus terjadi,
maka kecenderungan perilaku korupsi akan menggerogoti anggaran negara. Hal ini menyebabkan nasib rakyat akan terabaikan, sebab pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan lebih banyak disibukkan dengan persoalan individunya.
Masyarakat mesti menyadari, bahwa dengan menerima politik uang, mereka telah mempertaruhkan nasib selama lima tahun dengan menjual suaranya. Memilih pemimpin dari calon-calon yang berintegritas
Baca juga:
Cut Meutia Sang Mutiara Dari Tanah Rencong
|
Dalam berkompetensi merupakan solusi terbaik. Masyarakat harus cerdas dalam memilih, jangan terbuai dengan uang lalu menggadaikan suara untuk mereka.
Oleh karena itu, penolakan terhadap politik uang harus kita gaungkan bersama. Dengan menolak politik uang, masyarakat berkontribusi dalam menciptakan demokrasi yang bersih dan berkeadilan, serta menciptakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.