Penulis, Arfiandi ST MM Wartawan jurnalis Nasional Indonesia
Perubahan yang begitu cepat, ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memaksa manusia untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis. Perubahan dimaksud menjadikan manusia semakin canggih, cerdas dan terampil di satu sisi, namun juga gagap di sisi lainnya.
Baca juga:
Gamawan Fauzi: Semua Ada Akhirnya
|
Salah satu hal yang harus berubah adalah berkenaan dengan manajemen kepemimpinan. Baik paradigma mengenai hidup dan kehidupan, tata kelola dan bagaimana menggerakan orang untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan hanya berbekal pintar saja tidak cukup, harus dilapisi dengan keunggulan pribadi, mental dan karakter. Dalam perspektif manajemen modern yang sedang dikembangkan adalah perlunya integritas.
Baca juga:
Tantangan Pendidikan Era digital
|
Pengetahuan knowledge bisa dipelajari oleh siapapun dan bisa ditarget dalam durasi waktu tertentu; termasuk dalam soal teori-teori manajemen dan kepemimpinan, dan hal ikhwal yang melingkupinya. Namun soal sikap attitude harus dilatih dan dibiasakan, membutuhkan waktu yang lama. Dalam Bahasa lain soal karakter, moral atau akhlakul karimah.
Dalam Pendidikan, kita mengenal Taksonomi Bloom, yaitu tiga ranah yang harus dikuasai menjadi kompetensi, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk beragam model pelatihan biasanya sangat mudah mencapai ranah kognitif dan psikomotorik, namun sulit mencapai ranah afektif.
Baca juga:
Pahlawan Jadi teladan Bagi Insan Pendidik
|
Banyak pemimpin yang sangat pandai dan trampil menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Terlihat piawai memenej dan menggerakan angotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Namun belakangan dia kurang berhasil membangun trust di mata public, kerap terperosok melakukan hal-hal yang kurang terpuji.
Sementara itu, Lembaga Pemerintahan, masih mendapatkan tantangan dalam penyelenggaraannya. Praktik penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, suap, tindakan melanggar hukum, dan segala hal yang berpotensi merugikan keuangan negara. Dengan Bahasa lain, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), masih terus terjadi, yang diakibatkan diantaranya karena rendahnya integritas aparaturnya.
Baca juga:
Perspektif Putra Daerah ,Kearifan Lokal
|
Antara pola pikir dan prilaku sering tidak sesuai. Sehingga menyebabkan dia tidak bisa dijadikan sebagai role model (uswah hasanah), bagi orang yang dipimpinnya. Organisasi terancam ke jurang kehancuran, karena dipimpin oleh orang yang tidak berintegritas.
Korupsi telah menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa dengan penduduk kurang lebih 280 juta jiwa. Kejahatan ini dapat dikatakan sebagai extra ordinary, yang harus diberantas dengan pendekatan yang luar biasa.
singkat ini akan membahas tentang bagaimana menjadi pemimpin yang berintegritas di tengah perubahan. Karena negara yang hebat harus dibangun oleh orang-orang yang berintegritas, apalagi wajah para pemimpinnya.
Kata integritas berasal berasal dari Bahasa Latin “Intiger” yang berarti, utuh dan lengkap. Integritas membutuhkan perasaan batin, yang mengungkapkan integritas dan konsistensi karakter. Kenneth Boa, Presiden dari Pelayanan Refleksi di Atlanta, mengatakan bahwa integritas sebagai kebalikan dari kemunafikan.
Orang munafik tidak memenuhi syarat untuk memimpin orang lain, dibandingkan kepribadiannya yang lebih tinggi. Kejujuran diperlukan untuk semua orang, bukan hanya pemimpin,
Mendefinisikan integritas sebagai tiga hal yang selalu dapat kita pegang teguh; tetap berkomitmen, jujur, dan melakukan sesuatu secara konsisten. Integritas menjadi indikator pertama yang harus dimiliki oleh ASN, yang kemudian dilanjutkan dengan profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara).
Sebuah sistem yang memiliki integritas yang baik akan mendorong terciptanya akuntabilitas, mempublikasikan pendapatnya pada digital platform LinkedIn bahwa, walaupun akuntabilitas dan integritas adalah faktor yang sangat penting dimiliki dalam kepemimpinan, integritas menjadi hal yang pertama harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang kemudian diikuti oleh akuntabilitas
Mendefinisikan perilaku berintegritas dalam 10 karakteristik, adalah: (1). Menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting. Seseorang yang berintegritas tidak berbohong pada hal-hal kecil sehingga tidak mudah dirusak oleh godaan yang lebih besar; (2). Mampu melihat “putih” ketika orang lain melihatnya “abu-abu”. Seseorang yang berintegritas akan memutuskan yang benar tanpa keraguan; (3). Bertanggungjawab; (4). Menciptakan budaya kepercayaan; (5). Menepati janji; (6). Menjaga kata-katanya dan bertindak sesuai apa yang dikatakan; (7). Peduli terhadap kebaikan; (8). Jujur dan rendah hati; (9). Bertindak seperti mendapatkan pengawasan melekat; (10). Memperkerjakan orang berintegritas dan mengapresiasinya.
berintegritas akan berbanding lurus dengan akuntabilitas. Dalam banyak hal, kata akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas atau tanggung jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki arti yang berbeda. Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab yang berangkat dari moral individu, sedangkan akuntabilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab kepada seseorang/organisasi yang memberikan amanat.